YOGYAKARTA – Di tengah gemerlap kota Yogyakarta yang sarat sejarah dan budaya, sebuah gelombang baru sedang menyapa dunia. Bukan dari Kraton, bukan pula dari Malioboro, melainkan dari denyut nadi anak-anak rantau asal Kuantan Singingi yang membawa getar budaya kampung halaman: Pacu Jalur. Tradisi tua yang hidup dari arus Sungai Kuantan itu kini menari gagah di pelataran Tugu Jogja—ikon Kota Pelajar—melalui aksi memukau bertajuk “Aura Farming”.
Dibalik semarak video pendek yang viral di media sosial, tersimpan makna yang jauh lebih dalam: warisan leluhur sedang dibangkitkan, bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijadikan jalan perubahan.
IPRY KKS (Ikatan Pelajar Riau Yogyakarta Komisariat Kuantan Singingi) menjadi motor penggerak aksi budaya ini. Mereka menyadari, budaya tak bisa dibiarkan hanya hidup di masa lalu. Budaya harus hadir, bergerak, dan bernapas bersama zaman.
Pacu Jalur adalah lebih dari sekadar lomba mendayung. Ia adalah representasi dari falsafah hidup masyarakat Kuansing—kerja sama, kegigihan, harmoni, dan kehormatan. Di sungai, para anak pacu menyatukan langkah dan irama untuk mencapai garis akhir, sebagaimana masyarakat menyatukan semangat untuk meraih kemajuan.
Kini, semangat itu hadir dalam bentuk baru: tari Pacu Jalur versi Aura Farming. Sebuah bentuk konten digital yang memadukan elemen gerak, simbol, dan spiritualitas budaya. Dalam produksi yang dilakukan di sekitar Tugu Jogja, para pemeran menghidupkan kembali ritual Pacu Jalur dalam versi teatrikal modern:
Adzan Febrian sebagai “tukang tari” alias anak coki,Sahsabila, Devin Arya, dan Pandi Alfian sebagai anak pacu,Lahso sebagai “timbo ruang”,dan Abhelia Zanova sebagai “tukang onjai”.
Dengan properti seperti dayung dan kostum khas, tarian itu bukan hanya menjadi pertunjukan visual, tapi juga menjadi cermin jiwa orang Kuansing. Mereka menyatu dalam irama gerak, seakan membelah arus waktu yang membawa warisan ke masa depan.
“Aura Farming bukan hanya tren hiburan, tapi ladang energi untuk menanamkan kebanggaan budaya,” ujar salah satu pengurus IPRY KKS. “Lewat media sosial, kami ingin memperlihatkan bahwa nilai-nilai Pacu Jalur masih relevan di era digital ini.”
Antusiasme masyarakat Yogyakarta dan para wisatawan yang menyaksikan aksi ini di lokasi menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal, bila dikemas dengan kreatif, mampu menembus sekat-sekat geografis dan generasi.
Sebagai pelajar yang menuntut ilmu jauh dari kampung halaman, aksi ini adalah bentuk pengabdian mereka terhadap tanah tumpah darah. Yogyakarta menjadi saksi, bahwa meskipun hidup di perantauan, hati mereka tetap berdenyut dalam irama Jalur.
Sinergi antara budaya dan teknologi, antara akar dan langit, kini sedang terjalin. Anak-anak Kuansing di tanah Jawa bukan hanya merawat ingatan—mereka sedang menulis ulang masa depan budaya daerahnya.
Pacu Jalur bukan lagi hanya tentang lomba perahu di Sungai Kuantan. Ia kini adalah ekspresi peradaban yang bergerak, bertransformasi, dan menyentuh dunia. Berkat inisiatif IPRY KKS dan semangat kreatif anak-anak muda, tarian Pacu Jalur telah mendunia—tanpa harus meninggalkan jiwanya.
Dan inilah harapan besar itu: Budaya yang hidup, adalah budaya yang terus bergerak.