YOGYAKARTA — Gencarnya operasi penertiban Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, memunculkan kritik dari berbagai kalangan. Mahasiswa perantau asal Kuansing, khususnya yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Riau Yogyakarta Komisariat Kuantan Singingi (IPRY KKS), menilai bahwa pendekatan yang digunakan pemerintah dan aparat penegak hukum belum menyentuh akar persoalan secara menyeluruh.
Ketua Umum IPRY KKS, Irham Lahso, yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, menyampaikan bahwa tindakan represif terhadap pelaku PETI tanpa disertai edukasi dan solusi ekonomi justru berpotensi menciptakan persoalan sosial baru.
“Kami tidak membenarkan aktivitas ilegal. Tapi kita juga harus jujur melihat realita. Banyak pelaku PETI berasal dari masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari sana. Penertiban tanpa solusi adalah bentuk legalisasi penindasan,” ujar Irham, Minggu (4/8).
Negara Harus Hadir Sesuai Amanat Konstitusi
Irham menegaskan bahwa PETI bukanlah pilihan bebas bagi masyarakat, melainkan jalan terpaksa akibat minimnya akses terhadap pekerjaan formal dan ekonomi produktif.
“Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bila negara gagal memberikan ruang itu, bagaimana mungkin mereka disalahkan sepenuhnya?” ucapnya.
Ia juga menyoroti dampak sosial dari operasi yang dilakukan. Banyak alat tambang dimusnahkan, namun masyarakat tidak diberi pendampingan atau jalan keluar, sehingga menimbulkan keresahan, meningkatnya potensi pengangguran, hingga kerawanan sosial.
Penertiban Jelang Event Besar: Momentum atau Kepentingan?
Irham mempertanyakan konsistensi waktu pelaksanaan operasi PETI yang dinilai bertepatan dengan agenda besar seperti Pacu Jalur, yang saat ini ramai diberitakan hingga tingkat internasional, termasuk melalui promosi dari komunitas luar seperti Aura Farming.
“Kami mempertanyakan, apakah penegakan hukum ini murni untuk penertiban, atau demi citra menjelang kedatangan tamu-tamu kehormatan? Jika hukum ditegakkan hanya karena ada acara besar, maka itu bukan keadilan, tapi pencitraan,” tegasnya.
Soroti Aktivitas PETI di Lahan Pemda
Dalam pernyataannya, Irham juga menyinggung aktivitas PETI di lahan milik Pemerintah Daerah di Desa Jake yang sempat viral. Ia menyebut, mustahil jika Pemda tidak mengetahui kegiatan di atas aset yang telah dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
“Mengapa masyarakat kecil yang ditindak, sementara aktor yang lebih besar seolah dibiarkan? Penegakan hukum yang adil harus menyentuh semua pihak, tidak boleh tebang pilih,” katanya.
Seruan: Penegakan Hukum Harus Berkeadilan
Irham menekankan bahwa penertiban PETI seharusnya dilakukan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemerintah daerah diminta tidak hanya hadir sebagai penindak, tetapi juga sebagai pemberi solusi.
“Negara tak boleh gagal paham tentang keadilan. Menindak boleh, tapi harus dibarengi perlindungan dan penyediaan pilihan hidup yang layak bagi masyarakat. Jika tidak, maka negara justru menciptakan ketidakpastian bagi rakyat kecil,” tutup Irham.
Catatan:
Pemberantasan PETI memang penting demi menyelamatkan lingkungan dan menegakkan hukum. Namun, pendekatan yang hanya bersifat represif, tanpa solusi ekonomi dan pendekatan sosial, justru berisiko melukai rakyat kecil. Negara dituntut hadir bukan hanya sebagai pengatur, tapi sebagai pelindung rakyat, sesuai amanat konstitusi dan nilai-nilai keadilan sosial.
(Zul)